{display:block; -khtml-user-select:none; -webkit-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; -o-user-select:none; user-select:none; unselectable:on;}

Cari Blog Ini

Jumat, 05 Oktober 2018

Daftar Isi

DAFTAR ISI


Ringkasan
2
Kata Pengantar
6
Daftar Isi
8
Babak 01. Nikmat Mana Lagi Yang Kau Ingkari  ?
9
Babak 02. Cadik-cadik Perahu Jungmara
37
Babak 03. Harga Diri Brajagiri
54
Babak 04. Asthabrata  Kirathasinga
75
Babak 05. Jangan Mohon Yang Tak Tahu
105
Babak 06. Empat Bibit Jalma Dwipantara
121
Babak 07. Buah  Penasaran Cucu Begawan
136
Babak 08. Jangan Larang Mereka Pulang
165
Babak 09. Kala Setan Kumpul Di Bang Wetan. 
186
Babak 10. Patah Hati Pu Sepuh
215
Babak 11. Gejolak Hati Sang Senapati
231

Babak 12. Wirawigna Ring Dwipantara

244

Tentang Penulis

268

Catatan

270

Kata Pengantar


KATA PENGANTAR

Ada dua  pernyataan yang  sering kita dengar sebagai warga masyarakat.  Yang pertama, “Jangan melupakan sejarah !”, demikian kata banyak orang sepuh kepada anak-anak muda agar mereka selalu belajar dari masa lalu dan tidak mengulangi yang buruk di masa depan. 
Yang kedua,  “Ah sejarah itu menjemukan. Hanya sekadar daftar nama raja, nama keluarga raja, tahun pemerintahan atau tahun-tahun kejadian yang penting  saja. Tidak ada cerita yang menyentuh hati,” demikian kata  orang-orang yang menganggap sejarah hanya seperti itu saja tetapi di sisi lain  banyak di antara mereka yang gemar membaca novel.
Sejarah penting bagi anak bangsa. Itu benar ! Sejarah menjemukan kalau hanya berupa data mentah. Itu juga benar !  Padahal penemuan bukti-bukti sejarah masa lalu dari waktu ke waktu - sebagian besar - memang berupa data-data  yang belum bermakna.  Kecuali babad yang hanya beberapa buah kitab saja, hampir tidak ada catatan yang dibuat oleh raja, tokoh atau orang lainnya di masa lalu yang   membuat pembacanya gembira atau menangis seperti kalau membaca novel.
Menyadari bahwa sejarah itu penting, jika yang diambil adalah hikmahnya,  di satu sisi, dan di sisi lain tidak membosankan ketika membacanya,  penulis  berusaha menyusun  sebuah novel sejarah yang berisi hikmah kehidupan.  Judulnya ‘Wirawigna Ring Dwipantara’ sebagai episode pertama dari serial novel Cadik-cadik Perahu Nanhai’.
Selain berisi hikmah yang dipelajari dari kehidupan rakyat sebagai pribadi dan sebagai warga masyarakat, novel ini juga berisi hikmah yang diambil dari kehidupan para tokoh yang sering mengabaikan kepentingan masyarakat karena hasrat pribadinya.
Kalau dicermati, bukankah  peristiwa yang terjadi di sekeliling kita  dari dulu sampai sekarang hampir sama saja,  yaitu : cinta dan dicintai,  nafsu untuk kawin, nafsu untuk kaya, nafsu untuk menguasai dan sejenisnya yang berbuntut pada pertikaian dan selanjutnya perang ? 
Bukankah dari dulu selalu ada orang yang curang, iri hati, cemburu, suka mengambil hak orang, tukang fitnah, tukang omong, kejam dan sejenisnya tetapi  di sisi lain ada orang yang penyabar, bekerja diam-diam,  pintar bersiasat dan bijak ?  Itulah beberapa kesamaan yang terus berulang dari waktu ke waktu, sebagai bumbu penyedap kehidupan, sehingga menghasilkan cerita  yang bisa dinovelkan.
Bagaimanapun juga novel sejarah bukanlah sejarah. Novel sejarah memakai sejarah hanya sebagai pondasi cerita yang meliputi tahun, nama, tempat dan peristiwa sebagaimana tertera dalam buku sejarah.  Lebih dari itu,  yang tidak tercatat dalam buku sejarah, hanyalah cerita.  Yaitu cerita yang  digali dari kehidupan yang dari dulu ya itu-itu saja,  yaitu  perebutan’ sesuatu yang didasari oleh nafsu yang sejak awal sudah tertanam pada jiwa manusia. 
Terima kasih saya sampaikan kepada keluarga, sahabat, kawan serta berbagai pihak lainnya yang telah membantu saya. Semoga berkahNya selalu dikaruniakan kepada kita semua.   Mudah-mudahan bermanfaat. 

Bogor, Oktober 2016
Sastrawan Batangan
(e-mail : bermitra15@gmail.com)

Ringkasan



Pada awal bulan ke-10 tahun 640 M /562 Saka,  Marangga dan 5 kawannya dinyatakan lulus dari pendidikan calon perwira Kerajaan Kalingga, sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang pernah besar dan terkemuka di bumi Dwipantara (Nusantara).  
Dengan gembira hati Marangga bersyukur bisa mencapai salah satu cita-cita hidupnya walaupun sebelumnya ia pernah menggugat Sang Maha Perencana. Mengapa cita-citanya untuk menjadi pedagang dibelokkan menjadi prajurit ?  Sebelumnya pula ia pernah memprotes Sang Maha Pendengar. Mengapa sejak kecil ia hidup tanpa didampingi oleh kedua orangtua kandungnya ? Di manakah mereka ?
Namun setelah sadar bahwa takdir tak bisa ditolak sementara nasib bisa diubah, dengan semangat muda disertai kemampuannya bertarung dan bersiasat, Marangga melaksanakan tugas keprajuritan demi keamanan dan keutuhan Negeri Kalingga. Jabatannya sebagai perwira pasukan khusus telik sandi (mata-mata) dan berikutnya sebagai senapati, penasehat keprajuritan serta utusan khusus raja, telah membawanya pergi ke berbagai pelosok. Tidak hanya sebatas Negeri Kalingga di Bang Tengah (Jawa Tengah) dan Bang Wetan (Jawa Timur) saja, tetapi ia sempat menjelajahi negeri-negeri di Tatar Sunda (Jawa Barat), Balidwipa (Bali), serta Swarnadwipa (Sumatera) dan Warunadwipa (Kalimantan).
Dalam perjalanan inilah, Marangga tidak hanya berkenalan dan bekerjasama dengan para adipati, Prabu Wretikandayun dan Rakryan Sancang dari  Galuh, Sang Linggawarman dari  Tarumanagara, Sang Tarusbawa dari  Sunda dan Sri Jayanasa dari Sriwijaya. Lebih dari itu ia banyak melihat pernik-pernik kehidupan masyarakat. Yaitu betapa sengitnya manusia berebut kekayaan bumi dan menyedot harta rakyat, betapa gampangnya manusia keblinger oleh janji-janji orang yang mengatasnamakan kebenaran keyakinan serta betapa ganasnya manusia memperebutkan dan melanggengkan kekuasaan.
Dalam perjalanan  itu pula Marangga mengalami tidak hanya disukai oleh beberapa wanita, termasuk dicintai dan mencintai Putri Sima, cucu Adipati Medang Kamulan. Lebih dari itu perkenalannya dengan banyak wanita telah menggiringnya untuk semakin paham tentang arti kehadiran sosok makhluk pasangan pria itu.
Hikmah-hikmah inilah yang membuat Marangga makin bijak.  Hikmah-hikmah itu pula yang makin mendorongnya -setelah pensiun dini dari keprajuritan - untuk menyumbangkan pikiran dan tenaganya dalam usaha menjaga kedamaian tidak hanya Kalingga tetapi juga Dwipantara[1].
Harapannya sederhana saja. Jangan hanya karena ulah segelintir penguasa yang berseteru karena masalah pribadi, maka banyak rakyat menjadi korban perang. Ia ingin  persatuan dan kesatuan di antara sesama anak bangsa di Dwipantara  dapat terwujud tanpa harus perang. Ia bermimpi saudara sebangsanya di Dwipantara bisa menikmati kehidupan  panjang-punjung, tata-tentrem, gemah ripah  dan lohjinawi.
Karena itu dengan memanfaatkan keleluasaannya sebagai pedagang dan dengan bermodalkan kapal serta kekayaannya, ia berusaha untuk mendinginkan ketegangan antar beberapa kerajaan. Antara Kalingga dengan Galuh, Tarumanagara dengan Galuh, Tarumanagara dengan  Kalingga,   Sriwijaya dengan  Tarumanagara dan antara Sriwijaya dengan  Kalingga. Lebih dari itu, ia berusaha memulihkan nama baik  Pu Brajagiri, Senapati Tarumanagara keturunan rakyat kebanyakan, yang tewas karena fitnah. 
Tetapi bagaimanapun juga, Marangga adalah manusia. Sepandai-pandainya mengendalikan diri, dia sempat dihadang oleh kegundahan. Gundah  setelah tahu bahwa  sebenarnya dia punya hak sebagai pewaris Kerajaan Kalingga tatkala Prabu Kartikeyasinga tewas. Gundah saat Putri Sima, yang dicinta dan mencintainya, menjadi Ratu Kalingga setelah suaminya wafat. 
Akankah dia mengambil alih tahta kerajaan yang tinggal sekejap dapat diraihnya  ? Akankah cinta lama terjalin lagi setelah ia berhasil menyelamatkan Sang Ratu dari orang-orang  yang berusaha menggulingkannya ?  
Pada episode pertama serial ‘Cadik-cadik Perahu Nanhai’ dengan judul  Wirawigna Ring Dwipantara ini, dikisahkan bahwa Marangga, yang baru lulus dari pendidikan calon perwira Kerajaan Kalingga, mendapat cuti sebelum dilantik.  Mulai saat inilah dia berkali-kali menggumamkan ucapan syukur kepada Sang Maha Pencipta Gara-gara.
Gara-gara  sejak kecil tidak manja, kini dia – pada usia 20 tahun - mempunyai ilmu olah kanuragan yang kuat. Gara-gara tidak sengaja  mengalahkan orang yang berusaha memerasnya, dia berpengalaman menjadi pemimpin preman. Gara-gara mendahulukan teman untuk berjodoh dengan seorang gadis, dia mempunyai banyak sahabat.  Gara-gara beberapa kali harus meredam amarah, dia mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan calon perwira dan bersahabat dengan banyak orang penting. Gara-gara berkunjung kepada orang-orang yang pernah berjasa kepadanya, terbukalah  tabir rahasia tentang siapa dirinya.
Dan akhirnya saat  kembali di Kutaraja menjelang pelantikannya, dia  menyimpulkan bahwa tidak ada sesuatupun  bisa terjadi tanpa ada gara-gara. Dan tidak ada satupun gara-gara yang bermaksud buruk kepada siapa saja, termasuk kepada dirinya.
“Terima kasih aku haturkan kepadaMu, wahai Sang Maha Pencipta Gara-gara. Karena Engkaulah aku tergiring kepada kemuliaan sebagai penjaga kedamaian, bukan sebagai pengganggu dan perusak negeri yang aku cintai ini.  Segala puji bagiMu,“  demikian kata hatinya. 





[1] Nama kuno  Nusantara

Judul Novel : Wirawigna Ring Dwipantara

NOVEL SEJARAH & HIKMAH
HIDUP RAKYAT INDONESIA

WIRAWIGNA 

RING 

DWIPANTARA


EPISODE PERTAMA
SERIAL NOVEL
CADIK-CADIK PERAHU NANHAI

OLEH :

SASTRAWAN BATANGAN

PENERBIT PT MAXINDO

BOGOR, OKTOBER 2016


No ISBN : 978-602-72508-1-9