KATA PENGANTAR
Ada dua
pernyataan yang sering kita
dengar sebagai warga
masyarakat. Yang pertama, “Jangan melupakan sejarah !”, demikian kata banyak orang
sepuh kepada anak-anak muda agar mereka
selalu belajar dari
masa lalu dan tidak mengulangi yang buruk di masa depan.
Yang kedua,
“Ah sejarah itu
menjemukan. Hanya sekadar
daftar nama raja, nama keluarga raja, tahun pemerintahan atau tahun-tahun
kejadian yang penting
saja. Tidak ada cerita yang menyentuh hati,” demikian kata orang-orang yang menganggap sejarah hanya seperti
itu saja tetapi di
sisi lain banyak di antara mereka yang
gemar membaca novel.
Sejarah penting bagi anak bangsa. Itu benar !
Sejarah menjemukan kalau hanya berupa data mentah. Itu juga benar ! Padahal penemuan bukti-bukti sejarah masa lalu dari waktu ke
waktu - sebagian besar - memang berupa data-data yang
belum bermakna. Kecuali babad yang hanya beberapa buah kitab
saja, hampir tidak ada catatan
yang dibuat oleh raja, tokoh atau orang lainnya di masa lalu
yang membuat pembacanya gembira atau menangis
seperti kalau membaca novel.
Menyadari bahwa sejarah itu penting, jika yang diambil adalah
hikmahnya, di satu sisi, dan di
sisi lain tidak membosankan ketika membacanya, penulis berusaha
menyusun sebuah novel sejarah yang berisi hikmah kehidupan.
Judulnya ‘Wirawigna Ring Dwipantara’ sebagai episode pertama dari serial novel
‘Cadik-cadik Perahu Nanhai’.
Selain berisi hikmah yang dipelajari dari kehidupan rakyat sebagai pribadi dan sebagai warga masyarakat, novel ini juga berisi hikmah
yang diambil dari
kehidupan para tokoh yang sering mengabaikan kepentingan masyarakat karena
hasrat pribadinya.
Kalau dicermati, bukankah peristiwa
yang terjadi di
sekeliling kita dari dulu sampai sekarang hampir sama saja, yaitu : cinta dan dicintai,
nafsu untuk kawin, nafsu untuk kaya, nafsu untuk menguasai dan sejenisnya yang berbuntut pada pertikaian dan
selanjutnya perang ?
Bukankah dari dulu selalu ada orang yang curang, iri hati, cemburu, suka mengambil hak orang, tukang
fitnah, tukang omong, kejam dan sejenisnya tetapi di
sisi lain ada orang yang penyabar, bekerja diam-diam, pintar
bersiasat dan bijak ?
Itulah beberapa kesamaan yang terus berulang dari waktu ke waktu, sebagai bumbu penyedap kehidupan, sehingga menghasilkan
cerita yang bisa dinovelkan.
Bagaimanapun juga novel sejarah bukanlah sejarah. Novel
sejarah memakai sejarah hanya sebagai pondasi
cerita yang meliputi
tahun, nama, tempat dan peristiwa sebagaimana tertera dalam buku sejarah. Lebih dari itu, yang tidak tercatat dalam buku sejarah, hanyalah cerita.
Yaitu cerita yang digali
dari kehidupan yang dari dulu ya itu-itu
saja, yaitu ‘perebutan’ sesuatu yang didasari oleh nafsu yang sejak awal sudah tertanam pada jiwa manusia.
Terima kasih saya sampaikan kepada keluarga, sahabat, kawan serta
berbagai pihak lainnya yang telah membantu saya. Semoga
berkahNya selalu dikaruniakan kepada kita semua. Mudah-mudahan bermanfaat.
Bogor, Oktober 2016
Sastrawan Batangan
(e-mail : bermitra15@gmail.com)