Pada awal bulan ke-10 tahun
640 M /562 Saka, Marangga dan 5 kawannya dinyatakan lulus dari pendidikan calon perwira Kerajaan Kalingga, sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang
pernah besar dan terkemuka di bumi Dwipantara (Nusantara).
Dengan gembira hati Marangga bersyukur bisa
mencapai salah satu cita-cita hidupnya walaupun sebelumnya ia pernah menggugat Sang Maha Perencana.
Mengapa cita-citanya
untuk menjadi pedagang dibelokkan menjadi prajurit ? Sebelumnya
pula ia pernah memprotes Sang Maha Pendengar. Mengapa sejak
kecil ia hidup
tanpa didampingi oleh kedua orangtua kandungnya ? Di manakah mereka ?
Namun setelah sadar bahwa takdir tak bisa ditolak
sementara nasib bisa diubah, dengan semangat muda disertai kemampuannya
bertarung dan bersiasat, Marangga melaksanakan tugas
keprajuritan demi keamanan dan keutuhan Negeri Kalingga. Jabatannya sebagai perwira pasukan khusus telik sandi (mata-mata) dan berikutnya sebagai senapati, penasehat keprajuritan serta utusan
khusus raja, telah membawanya pergi ke berbagai pelosok. Tidak hanya sebatas
Negeri Kalingga di Bang Tengah (Jawa Tengah) dan Bang Wetan (Jawa Timur) saja, tetapi ia sempat
menjelajahi negeri-negeri di Tatar Sunda (Jawa Barat), Balidwipa (Bali), serta Swarnadwipa (Sumatera) dan Warunadwipa (Kalimantan).
Dalam perjalanan inilah, Marangga tidak hanya berkenalan dan bekerjasama dengan para adipati, Prabu Wretikandayun
dan Rakryan Sancang dari Galuh, Sang Linggawarman dari Tarumanagara, Sang Tarusbawa dari Sunda dan Sri Jayanasa dari Sriwijaya. Lebih dari itu
ia banyak melihat pernik-pernik kehidupan masyarakat. Yaitu betapa
sengitnya manusia berebut kekayaan bumi dan menyedot harta
rakyat, betapa gampangnya manusia keblinger oleh janji-janji orang yang
mengatasnamakan kebenaran keyakinan serta betapa ganasnya manusia memperebutkan dan
melanggengkan kekuasaan.
Dalam perjalanan itu pula Marangga mengalami tidak hanya disukai oleh beberapa wanita, termasuk dicintai dan mencintai Putri Sima, cucu Adipati Medang Kamulan. Lebih dari itu perkenalannya dengan banyak wanita telah menggiringnya untuk semakin
paham tentang arti kehadiran sosok makhluk
pasangan pria itu.
Hikmah-hikmah inilah yang membuat Marangga makin bijak. Hikmah-hikmah itu pula yang makin mendorongnya -setelah pensiun dini dari
keprajuritan - untuk menyumbangkan pikiran dan tenaganya dalam usaha menjaga kedamaian tidak hanya
Kalingga tetapi juga Dwipantara[1].
Harapannya sederhana saja. Jangan hanya karena ulah segelintir penguasa yang berseteru karena masalah pribadi, maka
banyak rakyat menjadi korban perang. Ia ingin persatuan dan
kesatuan di antara sesama anak bangsa di Dwipantara dapat terwujud tanpa
harus perang. Ia bermimpi saudara
sebangsanya di Dwipantara bisa menikmati kehidupan panjang-punjung,
tata-tentrem, gemah ripah dan lohjinawi.
Karena itu dengan memanfaatkan keleluasaannya
sebagai pedagang dan dengan bermodalkan kapal serta kekayaannya, ia berusaha
untuk mendinginkan ketegangan antar beberapa kerajaan. Antara Kalingga dengan Galuh, Tarumanagara dengan Galuh, Tarumanagara dengan Kalingga, Sriwijaya dengan Tarumanagara dan antara Sriwijaya dengan Kalingga. Lebih dari itu,
ia berusaha memulihkan nama baik Pu
Brajagiri, Senapati Tarumanagara keturunan rakyat kebanyakan, yang tewas karena
fitnah.
Tetapi bagaimanapun juga, Marangga adalah manusia.
Sepandai-pandainya mengendalikan diri, dia sempat dihadang oleh kegundahan.
Gundah setelah tahu bahwa sebenarnya dia punya hak sebagai pewaris
Kerajaan Kalingga tatkala Prabu Kartikeyasinga tewas. Gundah saat Putri Sima,
yang dicinta dan mencintainya, menjadi Ratu Kalingga setelah suaminya
wafat.
Akankah dia mengambil alih tahta kerajaan yang
tinggal sekejap dapat diraihnya ?
Akankah cinta lama terjalin lagi setelah ia berhasil menyelamatkan Sang Ratu
dari orang-orang yang berusaha menggulingkannya
?
Pada episode pertama serial ‘Cadik-cadik Perahu
Nanhai’ dengan judul Wirawigna Ring Dwipantara ini, dikisahkan
bahwa Marangga, yang baru lulus dari pendidikan calon perwira Kerajaan
Kalingga, mendapat cuti sebelum dilantik.
Mulai saat inilah dia berkali-kali menggumamkan ucapan syukur kepada
Sang Maha Pencipta Gara-gara.
Gara-gara
sejak kecil tidak manja, kini dia – pada usia 20 tahun - mempunyai ilmu
olah kanuragan yang kuat. Gara-gara tidak sengaja mengalahkan orang yang berusaha memerasnya, dia
berpengalaman menjadi pemimpin preman. Gara-gara mendahulukan teman untuk
berjodoh dengan seorang gadis, dia mempunyai banyak sahabat. Gara-gara beberapa kali harus meredam amarah,
dia mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan calon perwira dan bersahabat
dengan banyak orang penting. Gara-gara berkunjung kepada orang-orang yang
pernah berjasa kepadanya, terbukalah
tabir rahasia tentang siapa dirinya.
Dan akhirnya saat
kembali di Kutaraja menjelang pelantikannya, dia menyimpulkan bahwa tidak ada sesuatupun bisa terjadi tanpa ada gara-gara. Dan tidak
ada satupun gara-gara yang bermaksud buruk kepada siapa saja, termasuk kepada
dirinya.
“Terima kasih aku haturkan kepadaMu, wahai Sang
Maha Pencipta Gara-gara. Karena Engkaulah aku tergiring kepada kemuliaan
sebagai penjaga kedamaian, bukan sebagai pengganggu dan perusak negeri yang aku
cintai ini. Segala puji bagiMu,“ demikian kata hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar